ISLAMISME DI TIMUR TENGAH DAN INDONESIA

Resume buku Jejak Kafilah karya Greg Fealy & Anthony Bubalo

Pengantar
Muslim Indonesia, sebagaimana yang luas dikenal baik oleh kalangan Barat atau muslim di luar wilayah ini, merupakan penganut Islam yang memiliki corak berbeda dengan sebagian besar muslim yang hidup di pusat Islam (Timur Tengah). Muslim Indonesia terkenal lebih ramah, toleran, dan moderat dibanding dengan muslim di wilayah lainnya. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena, bagi masyarakat Indonesia, Islam bukanlah semata-mata agama dan satuan nilai komprehensif tentang kehidupan yang dibawa dari Timur Tengah yang lalu begitu saja dipraktekan di Indonesia, bagi mereka, Islam, bagaimanapun, adalah ‘tamu’ yang harus tunduk kepada tuan rumahnya. Indonesia bukanlah wilayah hampa sebelum datangnya Islam, melainkan wilayah yang sudah terdapat budaya yang mengakar kuat dalam benak masyarakatnya (terutama Jawa), oleh karenanya Islam harus melalui proses akulturasi dengan budaya lokal. Proses akulturasi ini pula menjadi faktor berbedanya corak Islam Indonesia.
Dalam ranah politik misalnya, meskipun dihuni oleh mayoritas pemeluk Islam, Indonesia tidak serta merta menjadi negara Islam atau negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara. Hal ini oleh Harry J. Benda disebut sebagai domestikasi Islam (penaklukan Islam oleh kekuatan-kekuatan lokal). (Effendy, 1998: 28)
Tetapi, pada masa kontemporer saat ini pencitraan Islam yang moderat dan toleran bagi muslim Indonesia mulai dipertanyakan seiring dengan semakin tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan radikal Islam di kawasan ini. Misalnya, banyak berdirinya organisasi-organisasi Islam yang berjuang untuk tujuan pemurnian ajaran Islam (seperti FPI, MMI, HTI, dsb), dan bahkan organisasi-organisasi yang bercorak jihadis, seperti Laskar Jihad.

Benarkah fenomena di atas adalah akibat pengaruh radikalisme Timur Tengah?, buku karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo ini akan menjawabnya. Sebelum mengkaji tentang bagaimana pengaruh radikalisme Timur Tengah di Indonesia, di bab awal buku ini, para penulis terlebih dahulu membahas tentang sejarah dan perjalanan beberapa kelompok dan tokoh Islamis di Timur Tengah.
Pendahuluan
Seperti banyak diketahui oleh seluruh umat manusia bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya berasal dari Allah dan kemudian disebarkan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagaimana agama pada umumnya, Islam mengajarkan banyak sekali hal yang menyangkut hubungan manusia sebagai makhluk (yang diciptakan) dengan Tuhannya sebagai khaliq (pencipta), tetapi selain itu Islam juga bicara mengenai tata hubungan antar sesama manusia (hablun min an-nas).
Seiring perjalanan waktu, Islam yang pada awalnya lahir di daratan Timur Tengah, menyebar seluruh penjuru dunia. Bahkan Islam mampu melahirkan peradaban besar yang pernah berjaya pada masanya, seperti misalnya peradaban yang dibangun oleh Dinasti Abbasiyah.
Sejalan dengan logika peradaban yang disampaikan oleh sejarawan Islam Ibn Khaldun bahwa suatu peradaban ibarat organisme tubuh yang pada awalnya lahir kemudian besar dan pada akhirnya akan mati (hancur), peradaban Islam mengalami hal demikian yaitu setelah lahir kemudian tumbuh besar lalu mengalami kemunduran dan kehancuran.
Kemunduran Islam ini kemudian banyak memancing umat Islam untuk berpikir dan berjuang mengupayakan kemajuan Islam. Ada banyak cara dalam mengupayakan kebangkitan Islam, di antaranya adalah dengan mengelaborasikan kembali kemajuan-kemajuan Islam yang pernah dicapai, bagi golongan ini kemunduruan Islam tidak lain adalah karena invasi dan kelicikan Barat dalam memecahbelah Islam, karena perlawanan terhadap Barat adalah niscaya.
Proses restorasi Islam ini kemudian diawali dengan revivalisme Islam yang pada awalnya menyentuh ranah pemurnian ajaran-ajaran Islam dari bid’ah, takhayul, dan khurafat, lalu kemudian ke ranah politik konfrontasi dengan Barat. Proses restorasi ini, pada masa modern ini bermuara pada apa yang disebut dengan Islamisme.
Islamisme didefinisikan sebagai Islam yang dipahami sebagai ideologi. Kelompok yang menganut paham Islamisme ini biasa disebut kelompok Islamis. Kelompok ini memandang bahwa Islam harus menentukan segala bidang dalam masyarakat, dari cara pemerintah, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Mereka juga memandang bahwa hal itu merupakan watak inheren dari Islam itu sendiri.
Secara historis, dampak utama pandangan tersebut adalah tumbuhnya keyakinan akan perlunya sebuah negara atau sistem Islam. Selain itu Islamisme juga mengandaikan aktivisme, karena menurut Sayyid Quthb, salah satu teoritikus Islamisme radikal, menjadi seorang muslim yang baik tidak hanya berarti melakukan sholat lima kali sehari, tetapi juga mengimplikasikan tindakan politik, sosial, dan bahkan paramiliter.
Sejak 11 September 2001, secara umum Islamisme diasosiasikan dengan aktivisme dan terorisme. Namun, asosiasi itu tidak sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya gerakan-gerakan Islamis di Timur Tengah menggunakan bentuk-bentuk aktivisme yang beragam, diantaranya adalah kelompok Islamis yang tetap memfokuskan pada bidang dakwah dan kelompok yang mengambil bentuk paramiliter, revolusi, dan bahkan terorisme yang seluruhnya secara tipikal di definisikan sebagai jihad.
Dari Revivalisme Sampai Jihadisme
Seperti sudah saya sampaikan di atas bahwa Islamisme secara historis berangkat dari revivalisme (gerakan membangkitkan kembali) Islam sekaligus juga gerakan reformisme Islam. Adalah Muhammad Ibn Abdul Wahab (1703-1787) yang pertama-tama menggerakan gerakan ini di jantung Islam yaitu di Arabia Tengah pada abad ke-18.
Ibn Abd. Wahab hendak menggerus tradisi pra-Islam dan praktek lokal suku-suku Badui di Arabia Tengah yang “menodai” kemurnian Islam. Untuk memurnikan Islam, ia menyeru orang Islam kembai kepada dasar-dasar agama dan kepada ajaran yang dipraktekan oleh para pendahulu yang shaleh—al-salaf as-shalih—tiga generasi pertama para pengikut Nabi Muhammad. Tujuannya ialah memurnikan Islam dari apa yang dilihatnya sebagai inovasi (bid’ah), peniruan buta (taklid), dan penyembahan berhala (syirik).
Bagian dogmatisme yang dikaitkan dengan apa yang kemudian dikenal sebagai Wahabisme berasal dari transformasi keyakinan Ibn abd. Wahab ke dalam ideologi negara dalam upaya aliansi dengan kepala suku lokal, Muhammad Ibn Saud. Ibn abd. Wahab melegitimasi dan membantu memperluas otoritas politik atas suku-suku yang lain, sedangkan Ibn Saud membantu menyebarkan pesan keagamaan Ibn Abd Wahab dan membentuk negara yang sejalan dengan garis puritan.
Saling pengaruh antara kebangktan Islam dan politik bahkan lebih jelas dalam gerakan revivalis Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935) pada abad ke-19 dan 20. dihadapkan pada disparitas kekuatan yang tajam antara Eropa dan Timur Tengah, ketiga pemikir tersebut mengajukan pertanyaan umum: bagaimana Dunia Islam yang mundur dapat terus melawan dan menyerap kemajuan Barat dalam hukum, industri, dan teknologi militer seraya tetap setia kepada masyarakat, kebudayaan, dan keyakinannya sendiri yang unik? Bagi mereka, jawabannya terletak pada kebangkitan kembali dan pembaruan Islam.
Bagi Afghani, kuncinya tidak dengan mengadopsi ide-ide Barat secara membebek. Tetapi, harus memahami dan hidup sesuai dengan hakikat sejati agama mereka yang pada gilirannya akan memperkuat mereka melawan tantangan eksternal. Abduh juga berusaha menunjukan bahwa perubahan dan modernitas yang disimbolkan oleh ide-ide dan kekuatan Barat tidak hanya cocok dengan Islam yang sebenarnya, tetapi ide-ide tersebut merupakan implikasi yang niscaya dari Islam. Ridha, lebih sebagai kromikler dan pamfleter, mengambil ide-ide ini dalam arah yang lebih fundamentalis dan konservatif. Seperti Ibn Abd. Wahab, referensi langsungnya adalah kepada masa lalu dan para pendahulu yang saleh; karena itu, gerakan mereka disenut Salafiyah. Tetapi, tidak seperti Ibn Abd Wahab. Salafiyah berusaha merekonsiliasi ide-ide “modern” dan Islam dengan menemukan kembali—dan dalam beberapa hal menafsirkan kembali—kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama.
Di bawah bayang-bayang Salafiyah inilah, gerakan Islamis yang prototipikal lahir, Ikhwanul Muslimin, lahir. Didirikan di Mesir pada 1928 oleh Hasan al-Banna, Ikhwanul Muslimin, seperti Salafiyah, sangat prihatin pada kemunduran Islam dan lebih khusus lagi, pada kebobrokan masyarakat Mesir. Bagi al-Banna, tantangan yang ditunjukkan peradaban Barat diperbesar oleh keruntuhan kekhalifahan Utsmani pada 1924 dan pemecahan Kerajaan Utsmani oleh kekuatan Barat. Dalam pandangannya, ancamannya tidak sekedar fisik, tetapi juga intelektual dan spiritual, yang diajukan oleh ide-ide sekuler Barat. Seperti menurut Salafiyah, rumus yang ditawarkan al-Banna adalah kembali kepada dasar-dasar Islam. Namun, sementara Afghani, Abduh, dan Ridha berusaha membangkitkan kembali Islam terutama melalui kekuatan ide-ide dan aktivisme individual mereka, sumbangan al-Banna adalah pada pembentukan sebuah gerakan.
Bagi al-Banna, kemunduran dunia Islam disimbolkan dengan penerimaannya terhadap bentuk pemerintahan Barat dan hukum-hukum Barat—khususnya pemisahan otoritas agama dan politik. Akibatnya, menurutnya, kembali kepada Islam mengimplikasikan pembentukan negara atau sistem Islam (al-nizam al-Islami). Yang pokok dalam sistem ini adalah, syariat—hukum yang diwahyukan Tuhan—dan al-Quran adalah undang-undangnya. Partai-partai politik dibubarkan, pos-pos administratif diberikan kepada mereka yang memiliki pendidikan agama, dan pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap moral pribadi.
Strategi al-Banna, sebagian besar, sifatnya bertahap dan reformis. Ia menggambarkan, pembentukan negara Islam adalah konsekuansi dari Islamisasi masyarakat. Sebenarnya, proyeknya adalah mendirikan negara Islam dari bawah dengan mencetuskan “kebangkitan spiritual” yang luas di kalangan umat Islam. Demi tujuan ini, ia mengembangkan Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah gerakan berbasis luas yang digerakkan menuju berbagai bentuk aktivisme akar-rumput.
Sebagai sebuah organisasi yang hidup di sebuah negara Ikhwanul Muslimin mau tidak mau kemudian terlibat dalam aktivisme politik, terutama di Mesir. Konfrontasi dengan pemerintah Mesir kemudian harus dibayar mahal dengan terbunuhnya al-Banna pada tahun 1949. walaupun penerus langsung al-Banna mengembalikan gerakan kepada fokus yang lebih didaktik, sampai saat ini tetap ada ketegangan dalam organisasi antara mereka yang menekankan tujuan reformis dan spiritual, dan mereka, khususnya generasi muda, yang cenderung kepada aktivisme politik yang lebih terbuka.
Sayyid Quthb, melalui tulisan-tulisannya, merupakan representasi sekaligus referensi bagi model kecenderungan Ikhwanul Muslimin yang kedua (aktivisme politik). Quthb menawarkan alternatif yang lebih “membakar”. Dalam lingkungan penjara yang kejam dan menyedihkan Quthb menulis “manifesto” politik Islamisme radikal paling berpengaruh, Ma’alim fi al-Thariq.
Yang mendasar dalam tesis Quthb adalah pandangan tentang negara Islam yang dielaborasi dari tulisan-tulisan pemikir Islamis pakistan, Abu al-A’la al-Maududi. Sejajar dengan pembentukan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Maududi mengembangkan ide-ide dan strategi untuk mewujudkan negara Islam di anak benua India. Bagi Maududi, negara Islam sejati adalah negara yang hanya mengakui kedaulatan Tuhan (hakimiyah), hanya menyembah Tuhan, dan melaksanakan hukum-hukum-Nya, syariat.
Ide tentang jahiliyah adalah batu pijakan polemik Quthb. Dia mendefinisikan semua masyarakat pada zamannya sebagai sedang berada dalam keadaan jahiliyah. Cap jahiliyah jelas berlaku untuk masyarakat Komunis dan Barat. Drama sesungguhnya dalam elaborasi Quthb tentang konsep tersebut bukan pelabelannya terhadap Barat sebagai jahiliyah—suatu ide yang diterima dengan mudah oleh sebagian besar umat Islam—melainkan penggunaan istilah tersebut untuk mengutuk masyarakat muslim sendiri dan terutama, penguasanya. Bagi Quthb, tidak cukup bagi umat Islam di masyarakat tertentu jika hanya saleh secara individual semata. Islam lebih merupakan sistem total daripada sekadar agama. Oleh karena itu, setiap masyarakat adalah jahiliyah, bodoh, jika cara hidupnya tidak didasarkan kepada penyerahan total kepada Tuhan.
Baik Maududi maupun Quthb mendorong tranformasi radikal masyarakat mereka sendiri. Namun, sebagian besar ide-ide Maududi diperjuangkan melalui aktivisme parlementer dan partai politik, melalui Jama’at-e-Islami yang ia dirikan di India sebelum perpecahan India pada tahun 1941. sebaliknya, Quthb menyediakan—dengan sengaja atau tidak—sebuah wacana untuk aktivisme revolusioner. Dalam Ma’alim dia berpendapat, masyarakat jahiliyah harus dilawan dan dihancurkan. Langkah pertama dengan jalan purifikasi personal, dengan membersihkan diri dari pengaruh ide-ide jahiliyah yang merusak dan merenungkan makna Islam yang sesungguhnya. Begitu hal ini terjadi, suatu gerakan harus menyingkirkan masyarakat jahiliyah yang dipimpin oleh barisan depan umat Islam yang benar dan setia. Quthb berpendapat dakwah secara persuasif untuk memperbarui ide-ide dan kepercayaan—pendekatan tradisional Ikhwan—tidaklah cukup. “kekuatan fisik” dan “jihad” juga diperlukan. Jika menurut al-Banna sistem Islami dicapai dari bawah—yakni Islamisasi masyarakat melalui pembaruan—maka menurut Quthb sistem Islam hanya dapat dicapai dari atas, dengan secara langsung menghilangkan sistem jahiliyah yang mengangkangi jalan Islam.
Meskipun Quthb tidak sempat menyaksikan implikasi-implikasi dari ide-idenya tersebut, karena dia dihukum mati pada tahun 1966. tetapi Quthb, melalui ide-idenya tersebut, telah berhasil meletakkan senjata di tangan para Islamis radikal, di Mesir khususnya.
Meskipun bertumbuh pertama kali di dunia Sunni, di Iran yang didominasi Syiahlah radikalisme Islamis, yang dipimpin Ayatullah Ruhullah Khomeini, memperoleh kesuksekan besar pertama. Khomeini mentransformasikan kosmologi Syiah yang sebagian besarnya pasif secara politik untuk menghasilkan pandangan yang revolusioner. Dalam melakukan hal itu, dia mengadopsi kehidupan intelektual pemikir Iran lain, khususnya Ali Syariati, yang dipengaruhi intelektual-intelektual kiri dan Dunia Ketiga, dari Sartre hingga Franz Fanon. Tetapi hal itu terjadi hanya ketika Khomeini, ulama yang dihormati, memberikan bobotnya dibalik ide-ide ini sehingga dapat diterima khalayak luas. Khomeini tidak saja mengusulkan pelengseran syah, tetapi juga penggantian pemerintah dengan kelas ulama yang mewujud dalam doktrinnya tentang wilayat al-faqih (pemerintahan ulama).
Bersama dengan Quthb dan Maududi, Khomeini tampil sebagai satu dari tiga teoritikus yang mampu berkembang dari Islamisme radikal. Gaung dari ide-idenya diperkuat oleh jatuhnya Syah pada 1979. tetapi, mungkin yang lebih penting adalah usaha-usaha aktif Iran, akibat revolusi, untuk mengekspor percampuran teologi dan populisme dunia ketiga ke seluruh penjuru dunia Islam.
Invasi Soviet atas Afghanistan pada 1979 jelas sangat sentral dalam evolusi Islamisme, baik yang radikal maupun yang disponsori negara. Bagi Arab Saudi khususnya, hal ini memberikan kesempatan tidak hanya dalam melawan Komunisme, musuh ideologi utama negara Arab Saudi, tetapi juga untuk menyambut tantangan Iran. Arab Saudi melihat dukungan materiil untuk melakukan jihad sebagai satu cara untuk mempertahankan martabat keislamannya. Arab Saudi berharap, dengan mendorong kelompok Islam radikal di kawasan tersebut agar pergi ke Afghanistan, negara itu bisa mengalihkan energi kelompok radikal dari revolusi di dalam negeri ke Afghanistan.
Dalam usahanya menyalurkan tenaga dan uang ke jihad Afghanistan, penguasa Saudi sering bersandar kepada Ikhwanul Muslimin di sekitar kawasan Arab. Di antara mereka adalah Abdullah Azzam, seorang Ikhwan Palestina-Yordania. Azzam memainkan peran penting dalam melatih dan menyebarkan pejuang asing. Azzam juga adalah seorang adalah seorang ahli polemik yang tak kenal lelah sekaligus efektif untuk menyerukan jihad yang, setidak-tidaknya pada mulanya, tampak periferal bagi kelompok Islamis di Timur Tengah, yang seperti sebelumnya disibukkan dengan perjuangan melawan rezim kafir di negeri mereka sendiri atau konflik Israel-Palestina.
Azzam berpendidikan Islam formal, menerima gelar doktor dari universitas al-Azhar Kairo. Bobot pendidikan ini dapat dirasakan dalam nada legalistik dari polemiknya yang paling terkenal, Ilhaq bil Qaafila dan Difa’a ‘an Araadi al-Muslimin. Azzam berpendapat, ahli hukum muslim menegaskan bahwa tanah-tanah umat Islam “laksana satu tanah” dan karena itu seluruh muslim berkewajiban melakukan pembelaan atas setiap bagian tanah itu, termasuk dalam kasus Afghanistan. Dia mendefinisikan jihad melawan Soviet sebagai fardh ‘ain.
Namun, bagi Azzam, jihad di Afghanistan lebih signifikan daripada hanya perjuangan untuk mengusir Soviet. Azzam berpendapat, kewajiban jihad tidak berakhir dengan kemenangan atas Soviet di Afghanistan, tetapi berlanjut sampai seluruh bekas tanah muslim telah dibebaskan, mulai “Andalusia” hingga “Filipina”. Lebih jauh, jihad tidak hanya merupakan suatu cara mencapai tujuan, tetapi merupakan tujuan itu sendiri. Azzam berpendapat, setiap prinsip atau ideologi membutuhkan barisan terdepan untuknya membawanya menuju kemenangan. Azzam menambahkan bahwa jihad Afghanistan menyediakan kesempatan seperti itu sekedar untuk latihan dan persiapan yang dia samakan dengan 13 tahun periode kontemplasi Nabi di Makkah sebelum mulai menyebarkna Islam.
Salah satu efek samping konflik di Afghanistan adalah militerisasi perjuangan antara kelompok Islamis radikal dan pemerintahan di Timur Tengah. Di Mesir dan Aljazair khususnya, kalangan yang disebut “Arab-Afghan” dipersenjatai kembali dengan keterampilan perang dan kepercayaan diri terhadap apa yang bisa dicapai melalui jihad. Di Aljazair kekerasan yang mengakibatkan lebih dari 100 ribu orang mati pecah setelah penundaan pemilihan legislatis oleh tentara pada 1992 yang dimenangkan oleh Islamis Front Islamique du Salut (FIS). Semburan kekerasan dilepaskan oleh berbagai kelompok. Sebagian, seperti sayap bersenjata FIS, Armee Islamique du Salut (AIS), berusaha menggulingkan rezim. Yang lain, khususnya Groupe Islamique Arme (GIA), lebih tertarik dengan kekerasan fisik untuk memaksakan amar makruf nahi munkar.
Di Mesir, setelah pembunuhan Anwar Sadat, kelompok Islamis radikal mengalami pengelompokan kembali ke dalam dua aliran: Jihad Islam Mesir yang cenderung memfokuskan kekerasannya secara langsung kepada rezim; dan Al-Gama’ah Al-Islamiyah yang berbasis lebih luas yang melakukan baik jihad dengan cara keras maupun kampanye mobilisasi rakyat. Mulai akhir 1980-an, konflik antara Islamis radikal dan negara secara progresif menjadi lebih keras, dan pada 1990-an kampanye teror dan pembunuhan ramai-ramai diarahkan kepada pejabat pemerintah, intelektual sekuler, orang kristen Mesir, dan para wisatawan.
Meski dengan pertumpahan darah yang luar biasa, kelompok teroris di Mesir dan Aljazair gagal menggulingkan rezim yang berkuasa. Pemerintah kedua negara menggunakan tindakan represif untuk menghancurkan kelompok militan—ribuan orang dibunuh, ditahan atau dipaksa ke pengasingan. Lebih jauh, terorisme terbukti kontraproduktif, membuat sebagian besar penduduk sebagai korban kekerasan.
Afghanistan bukan satu-satunya jihad melawan “musuh luar”. Di Lebanon pada 1980-an, dan di wilayah Palestina pada akhir 1980-an, perjuangan yang pada esensinya berwatak nasionalis diberi warna Islamis dengan masuknya Hizbullah (di Lebanon) dan hamas serta jihad Islam Palestina ke dalam konflik tersebut.
Antara Akomodasionis-Nasionalis dan Konfrontasionis-Internasionalis
Pada periode mulai tahun 1979 hingga 1992, Islamisme mencatat sejumlah peristiwa nyata. Kelompok Islamis tampil ke tampuk kekuasaan di Iran (1979), Sudan (1989), Afghanistan (1992), Aljazair (1992), dan di Mesir Ikhwanul Muslimin memenangi kursi di parlemen dan menguasai segmen luas masyarakat sipil. Namun, pada akhir dekade tersebut gerakan Islamis—meskipun mampu menguasai beberapa negara—mengalami kegagalan politik. Di Mesir dan Aljazair, kemajuan Islamisme radikal dihadang oleh tindakan drastis rezim yang berkuasa, dan para veteran Afghanistan seringkali menghadapi represi (ketika mereka kembali ke negara asal mereka) oleh pemerintah yang ketakutan dengan ide-ide dan kererampilan militer mereka. Bahkan, dalam perjalanannya kelompok Islamis paling banter menawarkan model negara Islam yang terbatas, jauh dari utopia yang dijanjikan oleh ideal Islamisme.
Kegagalan-kegagalan tersebut mendorong penilaian ulang dan reorientasi oleh banyak kelompok Islamis di Timur Tengah. Kelompok Islamis dapat memilih antara dua lintasan yang berbeda. Pertama, mereka akan memilih normalisasi politik atau akomodasi dengan negara tempat mereka hidup; dengan memutuskan untuk bergerak menurut aturan-aturan permainan politik. Kedua, sebagian kelompok Islamis hanyut menuju apa yang disebut oleh Olivier Roy dengan gerakan “neofundamentalisme” yang mencakup rentang lebar kelompok-kelompok yang sama-sama memiliki pendekatan konservatif dan literais terhadap Islam, tetapi yang aktivisme mereka merentang dari reformasi praktek keagamaan (Salafisme) sampai, dalam kasus ekstrem, terorisme ultra-keras (jihadis-Salafisme). Apa yang sama-sama dimiliki oleh neofundanmentalis ialah mereka melampaui batas-batas negara-bangsa dan memfokuskan pada individu-individu muslim dan pada umat yang lintas-negara, meski sebagian besar bersifat virtual. Tak mengherankan, sebagian besar mereka adalah kalangan yang tercerabut dan terdislokasi, yang hanyut menuju neofundamentalisme yang, dalam kasus Salafisme, memberikan akhlak keagamaan dan identitas generik muslim supranasional yang berfungsi di setiap waktu dan tempat, atau, dalam kasus salafi-jihadis, mempersiapkan jihad terus-menerus untuk kepentingan umat global.
Contoh dari pendekatan yang pertama adalah misalnya, yang terjadi di Mesir dengan berevolusinya al-Gama’ah al-Islamiyah dan FIS di Aljazair dengan tidak lagi menggunakan senjata dalam menentang negara, bahkan bersifat akomodatif, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan umat Islam di negara-negara tersebut.
Selain mendakwakan genjatan senjata, kelompok Islamisme pada periode ini juga menggunakan pendekatan integrasi politik dengan negara, dengan mengikuti pemilu mereka berharap menunaikan idealisme. Hal seperti ini misalnya terjadi di Mesir ketika sebagian kelompok Ikhwan mendirikan partai politik Hizb al-Wasat, di Turki Partai Keadilan dan Pembangunan, di Aljazair ada Harakat al-Nahdah dan Gerakan untuk Reformasi Nasional (Movement for Nasional Reform).
Hal demikian di atas tidak serta merta mengandaikan bahwa sudah tidak adalagi kelompok-kelompok Islamis yang berjuang dengan senjata. Kelompok Islamis seperti ini di antaranya adalah jaringan al-Qaeda yang berada di Arab Saudi, Hizbullah di Lebanon, dan Hamas di Palestina.
Jika banyak kelompok Islamis merekonsialisasikan diri mereka dangan aktivisme yang pada hakikatnya bersifat nasional atau bahkan nasionalis, seperti digambar pada pembahasan di atas, kelompok lain meneruskan jalan internasionalis, khususnya dengan mengeksploitasi kesempatan teknis yang disediakan globalisasi untuk mencapai audiens muslim supranasional. Dua contoh menonjol adalah soerang Islamis dengan jangkauan global yang berbasis di Qatar, Yusuf al-Qaradhawi, dan turunan lain dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir.
Subjek pembahasan al-Qaradhawi merentang dari politik internasional hingga persoalan sehari-hari. Namun, upaya mengelompokan ide-idenya adalah pekerjaan yang cukup sulit. Berbeda dengan al-Qaradhawi. Hizbut Tahrir mengidentifikasikan dirinya secara lebih khusus sebagai gerakan yang memperjuangkan penegakan khilafah.
Hal unik dan berbeda dengan kedua gerakan di atas dalam pendekatan internasionalisme adalah gerakan Salafisme. Sebenarnya Salafisme kurang tepat bila dikatakan sebagai suatu gerakan atau ideologi, Salafisme adalah sebuah manhaj/metodologi untuk menerapkan keyakinan dan prinsip-prinsip Islam, secara historis Salafisme adalah suatu upaya menghidupkan kembali dasar-dasar Islam, kembali kepada agama yang dipraktekan oleh pendahulu yang saleh (al-salaf al-salih).
Kelompok salafis percaya bahwa syariat adalah satu-satunya hukum yang harus diikuti setiap muslim dalam kehidupannya, tetapi mereka tidak memandang eksistensi negara Islam wajib diwujudkan (bertentangan dengan kelompok Islamis). Karena itu, secara khusus kegiatan utama sebagian besar salafi adalah dakwah.
Terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar salafi mengutuk aktivisme Islamis, sebagian Islamis telah mengarah kepada Salafisme. Untuk sebagian, hal ini juga merupakan konsekuensi kegagalan Islamisme. Tetapi faktor utama yang lain dalam pergeseran ini adalah peran yang dimainkan Arab Saudi sejak 1960-an dan 1970-an dalam mengooptasi kelompok Islamis dan mempromosikan keyakinan wahabi (Wahabisme adalah gerakan salafi par excellence) yang konservatif.
Sebagian kelompok salafi, yang tampaknya hanya berorientasi pada masalah keberagamaan, akan cenderung menuju kekerasan; misalnya, melancarkan serangan kelompok terhadap toko video yang dianggap mempromosikan imoralitas. Namun, ada kelompok minoritas ekstrem dan berbeda dari kelompok yang menyebut dirinya salafi yang berkecenderungan menuju terorisme terorganisasi. Dicap Salafisme-jihadis, kelompok ini memfokuskan diri pada jihad keras sebagai ganti pemfokusan dari jalan dakwah tradisional. Dalam aliran inilah, al-Qaeda dan partisannya tergolong.
Al-Qaeda merefleksikan, setidaknya sebagian, pergeseran dari Islamisme ke Salafisme, tepatnya Salafisme yang khas dan militan. Al-Qaeda berkembang setelah periode kepergian Soviet dari Afghanistan, antara 1989 dan 1998. makna “al-Qaeda” diterjemahkan secara beragam sebagai ‘basis’ atau ‘pemimpin terdepan’ kegiatan jihadis, atau hanya sebagai ‘data-base’ para aktivis jihadis. Al-Qaeda lebih sering dilihat sebagai jaringan transnasional longgar yang dipimpin oleh tim inti kecil yang melakukan serangan teror atas nama dirinya sendiri, atau serangan yang disponsori oleh orang lain.
Perbedaan utama antara al-Qaeda dan pola-pola kesejarahan aktivisme Islamis radikal di Timur Tengah adalah keputusan al-Qaeda untuk memerangi “musuh jauh” (Amerika Serikat dan sekutunya) sebagai kebalikan dari “musuh dekat” (penguasa negara Islam yang zalim).
Di kalangan salafi-jihadis, tidak ada ideolog sejati layaknya Sayyid Quthb. Dalam tulisan-tulisan mereka, seseorang secara tipikal menemukan sedikit lebih banyak daripada mengelaborasi konspirasi anti-amerika dan anti-Barat, yang bercampur dengan anti-semitisme yang keras, yang seluruhnya membenarkan jihad tiada henti.
Dari Timur Tengah ke Indonesia
Mengenai hubungan muslim Indonesia dengan muslim Timur Tengah, pengamat Barat mengatakan bahwa, pada satu sisi, orang Indonesia mencari pengetahuan dan inspirasi dari Timur Tengah, namun di sisi lain, mereka menerapkan pengetahuan ini dalam cara “lokal” yang berbeda dengan “sumbernya”. Beberapa pengkaji menilai apa yang mereka lihat ini sebagai kecerdasan adaptif orang-orang Indonesia, yang terampil meminjam dan mencampur yang lama dengan yang baru untuk menciptakan sintesis keagamaan yang sangat kaya. Namun, akademisi lain, khususnya pakar keislaman, melihatnya sebagai pengikisan Islam Timur Tengah yang “murni”.
Barat menilai kawasan Timur Tengah sebagai tempat bersemainya Jihadisme, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Sedangkan, Indonesia dinilai sebagai Islam yang sangat toleran dan pluralistik. Namun, pada akhir-akhir ini, dengan semakin bertumbuhnya kelompok jihadis paramiliter di Indonesia, seakan-akan telah menggeser penilian terhadap Islam Indonesia seperti di atas. Para pengkaji melihat bahwa kecenderungan meningkatnya kelompok-kelompok tersebut adalah karena adanya pengaruh dan Islam Timur Tengah yang terus tumbuh seiring dengan globalisasi.
Proses transmisi ide-ide Islamisme dan Neofundamentalisme Timur Tengah ke Indonesia, setidaknya berproses melalu tiga jalur utama yaitu gerakan sosial, dari pelajar dan sarjana hingga jihadis Indonesia yang turut andil dalam perang Afghanistan melawan Soviet; penyebaran Islam Timur Tengah di Indonesia, khususnya peran yang dimainkan oleh Arab Saudi; dan penerbitan serta internet.
Sebelum membahas satu per satu proses transmisi tersebut, setidaknya ada dua hal yang menjadi gamblang ketika mempertimbangkan transmisi ide-ide Islamis dari Timur Tengah ke Indonesia. Pertama, transmisi ide-ide tersebut sebagian besar berlangsung dalam satu arah: dari Timur Tengah ke Indonesia. Kedua, transmisi Islamisme ke Indonesia memiliki beberapa faktor penarik maupun faktor pendorong. Di satu sisi, banyak muslim Indonesia banyak menuntut ilmu ke Timur Tengah, baik sebagai pelajar atau mahasiswa yang belajar di sana maupun sebagai konsumen penerbitan dan media elektronik. Di sisi lain, pemerintah, organisasi amal, dan donor pribadi Timur Tengah dengan giat menyebarluaskan interpretasi mereka tentang Islam di kawasan itu, dengan cara membiayai infrastruktur Islami seperti masjid, sekolah, dan madrasah, mensponsori kunjungan dai dan penerbitan buku-buku dan jurnal, serta menyediakan beasiswa belajar di negara-negara arab.
Secara historis, vektor-vektor utama transmisi pemikiran Timur Tengah ke asia tenggara adalah gerakan sosial. Para pedagang dan ulama arab bepergian ke kawasan ini selama paling tidak delapan abad, menyebarkan pengetahuan Islam dan berdakwah di kalangan non-muslim. Atau pada masa kontemporer, para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah, yang setiap tahun jumlahnya semakin besar, menjadi katalisator penting transmisi ide-ide Timur Tengah ke Indonesia.
Yang lebih penting lagi dalam proses transmisi ini adalah, terutama ide-ide jihadis, perang di Afghanistan pada 1980-an sebagian besar orang Indonesia dikirim ke Afghanistan oleh pendiri Jamaah Islamiyah (JI) Abdullah Sungkar. Organisasi Indonesia lain, seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI), juga membantu anggota dan simpatisannya pergi ke Afghanistan.
Mujahidin Indonesia memiliki koneksi yang bermacam-macam kepada rekan-rekan arab mereka. Ketika tiba di Pakistan, banyak dari mereka pergi melalui Maktab al-Khidmat pimpinan Abdullah Azzam, sebelum meneruskan ke kamp latihan Abdul Rasul Sayyaf, komandan Afghan yang mempunyai ikatan erat dengan Arab Saudi dan Osama Bin Laden. Sekitar 200 hingga 300 orang Indonesia di latih di kamp Sayyaf. Sejumlah kecil mujahidin Indonesia berlatih di kamp-kamp pemimpin Afghan lainnya, seperti Gulbuddin Hektamyar dan Jamil ur-Rahman.
Selain latihan militer, mujahidin Indonesia juga memperoleh pendidikan agama dan ideologi. Seperti yang terjadi dengan banyak kamp yang dibiayi Saudi, ada penekanan besar pada ajaran salafi, dengan kecenderungan jihadis. Selain itu, pengaruh ideologis Ikhwanul Muslimin juga cukup besar, terutama berasal dari tulisan dan ide-ide Abdullah Azzam.
Saluran utama yang kedua bagi ide-ide Islamis adalah pendidikan dan dakwah yang didukung pemerintah dan lembaga nonpemerintah serta orang-orang dari Timur Tengah.
Di antara beberapa negara yang sangat aktif bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, Arab Saudi menempati urutan pertama. Arab Saudi berkepentingan untuk menyebarkan ideologi Salafisme puritan ala Wahabi, sebagaimana yang yang lazim diketahui bahwa promosi bentuk Islam puritanis ini menyebabkan radikalisasi komunitas muslim toleran dan moderat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Berbagai agen resmi pemerintah dan nonpemerintah Arab Saudi, baik yang sepenuhnya atau sebagian memfokuskan pada pemdidikan dan dakwah agama, termasuk sangat aktif di Indonesia. Agen-agen itu meliputi: Atase Agama Kedutaan Arab Saudi di Jakarta; Rabithah ‘Alam Islami yang nonpemerintah dan dua agen tambahannya, International Islamic Relief Organization (IIRO) dan World Assembly of Muslim Youth (WAMY); dan penyumbang-penyumbang pribadi serta lembaga amal non-pemerintah lainnya.
Kegiatan pendidikan dan dakwah yang disponsori Saudi di Indonesia meluas secara dramatis pada 1980-an. Ditandai dengan didirikannya Lembaga Ilmu Pengetahuan Isalam dan Arab (LIPIA). Lembaga ini menyediakan perkuliahan dengan konsntrasi bahasa arab dan studi Islam untuk mahasiswa Indonesia; yang paling sukses dari mereka bisa meraih beasiswa untuk studi pascasarjana di Universtas al-Imam.
LIPIA, disamping berwatak salafi, juga dipengaruhi Ikhwan Muslimin. Banyak dari pengajarnya yang berlatar belakang Ihkwan yang kuat. Sebenarnya tidak ada masalah ketika salafis kontemporer—yang menjauhkan diri dari politik—bersandingan Ikhwan yang aktivisme-nya lebih bercorak politis. Namun, berbedaannya lebih pada, penerimaan Ikhwan terhadap pluralisme politik dan agama, sedangkan salafis kontemporer cenderung lebih tidak toleran dengan apa yang mereka anggap sebagai praktek keagamaan yang tidak murni alias bid’ah.
Selain LIPIA, di Indonesia ada tiga organisasi yang secara khusus menerima dukungan signifikan dari Saudi, baik dari pemerintah dan nonpemerintah yaitu, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII); Al-Irsyad; dan Persatuan Islam (Persis).
Saluran utama yang ketiga bagi ide-ide Islamis adalah melalui media publikasi buku-buku karya tokoh-tokoh Islamis salafis dan Ikhwanul Muslimin Timur Tengah ke dalam bahasa Indonesia, para alumnus LIPIA dan DDII memiliki peran sentral dalam proses ini. Misalnya, DDII adalah organisasi yang secara resmi dan besar-besaran menerjemahkan karya Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb.
Selain melalui buku, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, internet juga menjadi media penting dalam proses transmisi ide-ide Islamis Timur Tengah ke Indonesia.
Ikhwanul Muslimin, Salafis, dan Jihadis di Indonesia
Berawal dari pembahasan yang panjang lebar di atas, penulis buku ini memfokuskan pembahasan mengenai pengaruh radikalisme di Indonesia dengan menguji tiga arus intelektual, yaitu, gagasan Islamis Ikhwanul Muslimin dan dua manifestasi utama neofundamentalisme—Salafisme dan Salafisme Jihadis. Dan yang akan dibahas lebih detail dalam bab terakhir buku ini adalah sejauh mana tiga arus tersebut diserap di Indonesia dan apakah terjadi proses Indonesianiasi terhadapnya.
Ikhwanul Muslimin
Dari semua benuk Islamisme kontemporer, mungkin pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia adalah yang memiliki sejarah paling panjang. Pengaruh Ikhwan mulai dirasakan di Indonesia pada akhir 1950-an. Namun, baru pada akhir 1970-an dan 1980-an gagasan dan teknik organisasi Ikhwan mendapat pengikut yang cukup besar. Salah satu faktor yang menjadi penyebab naiknya popularitas Ikhwan adalah karena kekecawaan yang dialami oleh umat Islam—terutama Islam politik dan politik Islam—akibat kebijakan ‘depolitisasi’ terhadap Islam yang diberlakukan oleh rezim orde baru.
Ekspresi utama pemikiran Ikhwanul Muslimin adalah Gerakan Tarbiyah yang mencuat pada awal 1980-an, gerakan ini digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa muslim di masjid-masjid kampus di Indonesia dengan membentuk kelompok-kelompok kecil atau sel-sel, yang dikenal dengan usrah (keluarga).
Seperti halnya al-Banna, anggota Tarbiyah menganggap Islam dan negara sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, mereka tidak memandang pendirian negara Islam formal di Indonesia dalam waktu dekat ini sebagai hal yang mendesak atau mungkin dilakukan. Dengan mengembangkan pendekatan al-Banna, Islamisasi negara dianggap sebagai proses gradual yang harus dimulai dari tingkat kesalehan yang tinggi dalam masyarakat. Meskipun demikian, negara Islam dipandang sebagai titik akhir perjuangan.
Sepanjang dekade 1980-an dan awal 1990-an, gerakan Tarbiyah masih tidak berpolitik secara terbuka dan menampakkan diri di hadapan rezim penguasa dan penyelenggara perguruan tinggi murni sebagai gerakan keagamaan yang kecil kemungkinannya menjadi ancaman bagi status quo. Karena itu, gerakan ini mampu mengakses sumber daya negara untuk kepentingan program pelatihan dan dakwah yang memudahkan tersebarnya gerakan ini ke seluruh kampus di Indonesia.
Ketika gerakan Tarbiyah mengonsolidasi diri selama kurun 1990-an, tekanan muncul dari dalam gerakan itu sendiri agar lebih aktif secara politik. Kondisi ini menemukan bentuknya pada awal 1998 ketika Orde Baru mulai rontok. Para aktivis Tarbiyah membentuk organisasi mahasiswa bernama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada April 1998. Menyusul lengsernya Soeharto, secara bersama-sama banyak pemimpin Tarbiyah mendirikan partai bernama Partai Keadilan (PK), pada pemilu 2004 partai ini merubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Evolusi gerakan yang diilhami Ikhwanul Muslimin, mulai dari gerakan Tarbiyah hingga partai politik. Fakta ini seakan-akan merefleksikan gerakan Hizb al-Wasat di Mesir. Meskipun PKS memiliki kesamaan dengan Hizb al-Wasat, tetapi partai ini jarang sekali menyejajarkan partainya itu dengan Hizb al-Wasat. Oleh karenanya, kedua partai itu tetap berdiri sendiri meski terdapat kesamaan-kesamaan yang gamblang di antara keduanya.
Sementara anggota Tarbiyah menganggap Islamisasi masyarakat, ekonomi, dan negara sebagai dasar pijakan perjuangan mereka, pada pemilu 1999 dan 2004 PKS menurunkan isu-isu ini dengan menekankan kampanye mereka pada tema-tema sekuler, seperti perang melawan korupsi, keadilan sosial-ekonomi, dan kebutuhan terhadap keberlangsungan reformasi politik. Para pemimpin PKS menjelaskan bahwa sikap mereka terhadap isu-isu tersebut memang sangat digariskan oleh norma-norma Islam yang mereka yakini. Namun, biasanya mereka menyampaikan pesan-pesan politik mereka dalam bahasa yang secara keagamaan netral. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa para pemimpin PKS telah mengesampingkan komitmen awal mereka pada kepentingan-kepentingan Islamis. Justru mereka berpendapat, akan sangat prematur dan ujung-ujungnya kontraproduktif jika membawa isu-isu tersebut ke kalangan pemilih yang lebih luas. Dalam pandangan mereka, sebagian pemilih kurang mempunyai pemahaman terhadap prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin, dan PKS tidak ingin menanggung resiko dianggap sektarian atau radikal jika mempromosikan agenda tersebut. Jadi, anggaran dasar dan manifesto PKS tidak menyebutkan keinginan mendirikan negara Islam.
Pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia tidak hanya diwakili oleh gerakan Tarbiyah—yang kemudian berevolusi menjadi PKS—tetapi juga oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dan Hizbut Tahrir. Al-Qaradhawi menjadi salah satu pemikir Timur Tengah kontemporer yang paling berpengaruh dalam Islam Indonesia. Ia telah berkunjung beberapa kali ke Indonesia. Tulisan-tulisannya di bidang fiqih sudah sangat populer dan dikutip secara luas.
Di Indonesia, Hizbut Tahrir yang hadir sejak 1982 menorehkan catatan sebagai penggerak aktivitas intelektual dan dakwah yang damai dan menghindari retorika yang menghasut. Tidak seperti sebagian besar organisasi Islamis Indonesia lainnya, Hizbut Tahrir tidak memiliki sayap paramiliter atau “satgas keamanan” yang menakutkan. Lebih dari itu, Hizbut Tahrir berupaya menyesuaikan pesannya dengan kondisi Indonesia dan baru-baru ini memberi penekanan pada implementasi syariat, seperti juga pada gagasan khilafah.
Kelompok-Kelompok Salafi
Perkembangan gerakan Salafi di Indonesia memiliki banyak kesamaan umum dengan kelompok-kelompok yang diilhami Ikhwanul Muslimin. Namun, terdapat beberapa perbedaan signifikan di antara mereka. Sebagian besar kelompok Salafi berbasis pada institusi-institusi dakwah dan pendidikan, seperti yayasan al-Sofwah, Yayasan Ihsa at-Turots, dan al-Haramain al-Khairiyah. Satu-satunya gerakan Salafi yang terbesar dalam sejarah terakhir adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dan kekuatan paramiliternya Laskar Jihad (LJ). FKAWJ didirikan pada 1998 oleh sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar 60 guru dan dai terkemuka Salafi dan dipimpin oleh seorang veteran perang Afghanistan, Ja’far Umar Thalib. Dan pada tahun 2002 FKAWJ dan Laskar Jihad membubarkan diri.
Kelompok-kelompok Salafi di Indonesia mempunyai semua persamaan karakter seperti yang dimiliki Salafisme kontemporer di Timur Tengah dan tentu saja gerakan Salafisme secara umum. Mereka, khususnya, berupaya mencerabut praktek Islam dari kebudayaan lokal Indonesia.
Seperti di Timur Tengah pula bahwa Salafisme di Indonesia tidaklah monolitik. Pengikut salafi diketahui retak sejak awal 1990-an sejarahnya dipenuhi perselisihan doktrinal dan personal yang bermuara pada perpecahan dengan frekuensi tinggi di kelompok-kelompok tersebut dan pada pembentukan kelompok-kelompok baru.
Dalam prakteknya, usaha untuk mempromosikan bentuk identitas Islam yang umum dan universal dan menjadikan Salafisme di Indonesia sebagai organisasi Islamis Indonesia yang paling terikat dengan Timur Tengah. Tidak hanya secara doktrinal dan kultural, tetapi juga finansial.
Sebagian besar kelompok Salafi Indonesia memfokuskan diri secara eksklusif pada religiositas dan aktivitas pendidikan serta dakwah yang damai. Namun, beberapa kelompok Salafi memilih jalan kekerasan yang menurut mereka dibutuhkan untuk membela masyarakat Islam Indonesia.
Kelompok-Kelompok Jihadi
Organisasi atau kelompok Islamis di Indonesia yang masuk dalam kategori kelompok Jihadi ini adalah Jamah Islamiyah (JI) yang didirikan pada 1 januari 1993 oleh Abdullah Sungkar. Seperti al-Qaeda, JI adalah gerakan transnasional yang sejati. Mayoritas pemimpin dan anggotanya berasal dari Indonesia, namun beberapa muslim dari Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan mungkin beberapa negara Asia Tenggara lainnya juga terlibat aktif. Tujuan formal JI adalah mendirikan Khilafah di kawasan ini, yang memungkinkan syariat diterapkan secara komprehensif. Hal ini kelak bakal menjadi basis bagi pemulihan khilafah universal. Pada kenyataannya, sebagian besar anggota JI lebih berkonsentrasi pada pendirian negara Islam di Indonesia dan berjuang melawan “musuh-musuh” Islam. Secara doktrinal, JI bersikeras menganggap dirinya Salafi, padahal hal ini telah ditentang oleh kalangan Salafi Nonjihadis.
JI memulai rencana serius melakukan aksi-aksi teroris sejak akhir 1990-an. Target utama mereka adalah tempat-tempat peribadatan dan kependetaan kalangan Kristen. Selain juga mereka secara eksplisit ingin menyerang Amerika dan sekutu-sekutunya melalui cara mengebom tempat-tempat hiburan di Indonesia yang disinyalir banyak dikunjungi oleh warganegara negara-negara tersebut, seperti tragedi bom yang terjadi di dua kafe ternama di Legian Kuta Bali. Mereka menganggap Amerika sebagai pemimpin kekuatan global anti-Islam.
Kemampuan dan kelihaian para pemimpin JI dalam mamenej organisasi ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka dalam jihad Afghanistan, begitu juga dengan kemahiran membuat bom yang mereka dapatkan ketika mereka masih berada dalam kamp-kamp latihan di Afghanistan.
Tidak diragukan lagi, secara ideologis, ada pengaruh Timur Tengah terhadap JI. Seperti, gagasan Quthb tentang jahiliyah dan jihad global secara radikal sangatlah menonjol dalam JI, strategi usrah ala ihkwanul muslimin juga terlihat kental dari gerakan JI. Namun, dua pakar luar negeri yang paling berpengaruh bagi JI adalah Abdullah Azzam dan Ibn Taimiyah. Kumpulan tulisan-tulisan Azzam yang diterbitkan oleh mereka dan kemudian diberi judul Tarbiyah Jihadiyah, dan Di bawah Naungan Surat at-Taubah menjadi bacaan wajib bagi mereka. Risalah Ibn Taimiyah tentang jihad dan pentingnya melengserkan penguasa muslim yang tidak menegakkan hukum Islam juga dianggap sebagai dokumen penting bagi aktivis JI.
Sejumlah pakar terorisme menegaskan, JI adalah bagian integral atau subordinat dari al-Qaeda. Namum, ada beberapa pengamat yang mengatakan bahwa hubungan keduanya sebagai hubungan “timbal balik dan perjuangan paralel”, artinya JI sangatlah otonom.
Meskipun elemen-elemen ini menunjukan kepada orientasi internasional Jamaah Islamiyah, mengaggap ekstremisme muslim garis keras seperti di atas semata-mata sebagai fenomena impor adalah asumsi yang salah. Sekitar empat puluh tahun sebelum JI, pemberontakan Darul Islam (DI) di Indonesia merupakan salah satu pemberontakan jihadis terbesar yang pertama kali terjadi di dunia Islam pada abad ke-20.
DI samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan Timur Tengah, baik secara ideologis dan tujuan gerakan. DI adalah gerakan jihadis yang murni berasal dari Indonesia dan hanya bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia, bukan khilafah universal. Organisasi ini menunjukan bahwa pengaruh Timur Tengah kontemporer tidak niscaya diperlukan untuk menciptakan gerakan jihadis berhaluan keras di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya DI menjadi pintu masuk bagi aktivis gerakan jihadis menuju ke JI, atau pengikut DI merupakan sumber utama rekrutmen JI, misalnya, banyak orang Indonesia yang pergi ke Afghanistan pada 1985, termasuk anggota DI, kemudian menjadi anggota JI.
Dengan demikian, menurut penulis buku ini, pandangan yang menganggap Jamaah Islamiyah sebagai produk murni atau bahkan utama dari pengaruh eksternal, khususnya Timur Tengah, adalah pandangan yang menyesatkan. Secara lebih akurat, JI bisa dicirikan sebagai produk hibrida (perkawinan silang) dari kekuatan-kekuatan nasional dan internasional.
Masa Depan Gerakan Islam Radikal di Indonesia; Sebuah Catatan
Secara garis besar apa ingin coba disampaikan oleh Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam buku ini sangat lah menarik. Mereka tidak hanya sekedar menggambarkan pengaruh Islamisme radikal Timur Tengah ke Indonesia, tetapi terlebih dahulu mengurai gejolak Islamisme di Timur Tengah, mulai dari gerakan yang hanya fokus pada dakwah keagamaan, aktivisme politik, bahkan aksi jihadisme-terorisme.
Kesimpulannya adalah bahwa gerakan Islamisme tidaklah monolitik, artinya setiap gerakan itu memiliki tujuan pergerakan yang berbeda-beda—seperti yang sudah disampaikan di atas. Selain itu, gerakan-gerakan tersebut harus menyesuaikan diri dengan konteks dan tantangan yang mereka hadapi di wilayah tempat mereka bergerak.
Sebagai sentrum (pusat) Islam, Timur Tengah tentunya merupakan referensi absah bagi Islam di seluruh dunia. Oleh karenanya tak heran, jika wilayah-wilayah di luar Timur Tengah mencoba meniru corak keberagaman dan gerakan Islam ala Timur Tengah. Tetapi, ternyata hal ini kemudian berbenturan dengan tradisi dan budaya lokal daerah setempat (di luar Timur Tengah).
Proses transmisi ini terutama ke Indonesia, dalam kenyataannya—seperti terungkap dalam buku ini—tidak hanya karena faktor penyerapan atau peniruan yang dilakukan oleh muslim Indonesia, tetapi juga karena kesengajaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berkepentingan di Timur Tengah, seperti Arab Saudi untuk mengkampanyekan Wahabisme ke seluruh dunia.
Banyak dari beberapa gerakan dan gagasan Islamisme di Timur Tengah ketika masuk ke Indonesia mengalami Indonesianisasi, seperti Ikhwanul Muslimin ketika di Indonesia menemukan bentuknya dalam gerakan Tarbiyah yang berevolusi menjadi PKS. Sebagai partai baru PKS cukup mengejutkan karena mampu mendulang suara yang cukup signifikan. Keterpengaruhan PKS dengan Ikhwanul Muslimin sangat jelas terlihat, misalnya dari tujuan dan pergerakan partainya. Tetapi kemudian PKS berbeda dengan sayap partai politik Ikhwan di Mesir Hizb al-Wasat, hal ini terjadi karena melihat bahwa konteks sosio-politik dan geografis Indonesia dan Mesir sangat berbeda.
Begitu juga dengan gerakan lain yang lebih mengutamakan perjuangannya pada perjuangan Islam secara global. Meskipun terpengaruh secara langsung dengan gerakan serupa di Timur Tengah, tetapi tetap terjadi proses Indonesianisasi di dalamnya.
Terlepas dari sistematisnya pembahasan dalam buku ini, saya melihat ada yang ‘sengaja’ dilupakan oleh para penulis, yaitu tentang proses awal bersemainya pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia yang ditandai dengan gerakan usrah di masjid-masjid kampus di Indonesia. Di buku ini kita tidak menemukan data detail tentang siapakah orang-orang yang menggerakan gerakan ini, tidak seperti yang dilakukan oleh Imdadun rahmat dalam buku Arus Balik Islam Radikal,(Jakarta: Erlangga, 2005). Padahal menurut saya ini sangat penting karena gerakan inilah yang menjadi embrio PKS, yang menjadi salah satu fokus kajian buku Jejak Kafilah; Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo ini.
Ada satu hal lagi yang tampaknya juga “dilupakan” oleh para penulis, yaitu mengenai masa depan gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok islam radikal tersebut di indonesia. Apakah gerakan ini akan semakin berkembang atau malah akan hancur?
Ke depan, meskipun tampaknya gerakan radikal islam semakin berkembang, menurut saya, kelompok-kelompok radikal islam di indonesia tetaplah akan menjadi kelompok minoritas dibanding kelompok islam mainstreem seperti NU dan Muhammadiyah. Karena, masyarakat indonesia kebanyakan adalah masyarakat yang taat terhadap tradisi dan budaya leluhurnya, sehingga sesuatu yang asing akan cenderung difilter secara lebih teliti atau bahkan mungkin ditinggalkan. Wallahu A’lam bi as-Shawab (nzy)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

PENDAFTARAN BELA NEGARA
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam

Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,

Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami

Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.

Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
semesta alam.

Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.

Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu

Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.

Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.

Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.

Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin

Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu

Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.

Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)

Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.

Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.

301. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam

302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
- ahli segala macam pertempuran
- ahli Membunuh secara cepat
- ahli Bela diri jarak dekat
- Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan

303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
- Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
- Ahli Pembuat BOM / Racun
- Ahli Sandera
- Ahli Sabotase

304. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam

305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
- ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
- Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
- Ahli enkripsi cryptographi
- Ahli Satelit / Nuklir
- Ahli Pembuat infra merah / Radar
- Ahli Membuat Virus Death
- Ahli infiltrasi Sistem Pakar

Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada

Disebarluaskan
MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

Syuaib Bin Shaleh
singahitam@hmamail.com

Unknown mengatakan...

PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.

Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !

Firman Allah: at-Taubah 38, 39
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!

Firman Allah: al-Anfal 39
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.

Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal

Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH

Firman Allah: al-Hajj 39, 40
Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah

Firman Allah: an-Nisa 75
Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)

Firman Allah: at-Taubah 36, 73
Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.

Firman Allah: at-Taubah 29,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..

Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.

Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

email : seleksidim@yandex.com

Dipublikasikan
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu