TUHAN DALAM FILSAFAT ISLAM

Pendahuluan
Pembahasan mengenai Tuhan dalam Filsafat Islam sebenarnya menjadi pembahasan utama, seperti yang dituliskan al-Kindi dalam kitabnya al-Falsafah Ula. Dalam kitab tersebut al-Kindi menyatakan bahwa concern utama dan pertama dalam Filsafat islam ialah Metafisika atau pembahasan mengenai Tuhan.
Tuhan juga dalam Filsafat islam merupakan bagian dari pembahasan mengenai wujud, yang di dalamnya terdapat empat cabang pembahasan yaitu, 1). Alam, 2). Jiwa, 3). Nubuwwah, dan 4). Tuhan. Jadi setiap Filosof muslim tidak pernah meninggalkan pembahsan mengenai yang empat di atas, terutama tentang Tuhan. Karena Tuhan adalah segalanya, Ia adalah sumber yang tanpa-Nya tak ada satupun benda di dunia ini -termasuk manusia- akan pernah muncul.
Pembahaan kali ini akan lebih jauh mengeksplorasi pendapat-pendapat Filosof-filosof pertama islam, yang biasa dikenal beraliran ”Peripatetik” (mengutamakan logika yang berdasarkan nalar akal)

Al-Kindi (801-873), sebagai filosof pertama islam, menyatakan bahwa Tuhan sebagai sebab pertama yang wujudnya menjadi sebab bagi wujud yang lain. Dia mempersepsikan Tuhan sebagai sebab beranjak dari keyakinan bahwa suatu kejadian tidak bisa terjadi karena dirinya sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itulah yang disebut sebab, sedangkan kejadian itu sendiri disebut akibat. Kejadian selalu mengandaikan adanya perubahan, setiap perubahan atau kejadian membutuhkan alasan yang memadai untuk pengaktualannya.
Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber, dari mana sesuatu yang lain, yakni alam semesta berasal.
Filosof Muslim selanjutnya setelah al-Kindi, terutama al-Farabi (872-920) dan Ibn Sina (980-1037), memaparakan lebih lanjut atau memperjelas konsep tuhan al-Kindi dengan mengungkapkan dalil Wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurut keduanya, segala yang ada di dunia ini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Tuhan adalah wajib al-wujud (wujud niscaya) sedangkan selainnya (alam) dipandang sebagai mumkin al-wujud (wujud yang mungkin). Tetapi yang dimaksud wajib al-wujud di sini adalah wujud yang ada dengan sebenarnya, atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan demikian Allah adalah wujud yang senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu apapun untuk mengaktualkannya.
Berbeda dengan alam yang dikategorikan sebagai mumkin al-wujud, artinya wujud potensial, sehingga memiliki kemungkinan untuk ada atau aktual. Sebagai wujud potensi ia tidak bisa mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak memiliki prinsip aktualitas untuk mengaktualkan potensinya.
Dengan alam yang kita sekarang ini atau ketika alam mewujud, pastilah ada sesuatu, selain alam, yang telah mewujudkan alam yang ia sendiri pasti bersifat aktual. Karena hanya yang telah aktuallah yang bisa mewujudkan segala yang potensial, ialah yang disebut dengan Tuhan.
Sebagai wajib al-wujud, Tuhan menurut al-Farabi adalah Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat apapun. Berdasarkan hakekat Tuhan diatas, al-Farabi menjelaskan alur bagaimana yang banyak (alam semesta) bisa timbul dari yang satu (Tuhan), menurutnya alam dan yang lainnya terjadi dengan cara Emanasi.
Menurut teori Emanasi (pancaran), wujud Allah sebagai suatu wujud intelegensia (akal) mutlak yang berpikir -tentang dirinya- secara otomatis menghasilkan –memancarkan- akal pertama sebagai hasil proses berpikir-Nya. Pada gilirannya, sang akal pertama berpikir tentang Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah akal kedua. Proses ini berjalan terus menerus hingga terciptalah akal ketiga, akal keempat, hingga akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah di tingkatan-tingkatan wujud di alam material.
Di samping terciptanya akal-akal tersebut, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa dan planet-planet. (teori emanasi lihat di halaman terakhir)
Pada Akal 10/Wujud 11 berhentilah terjadinya akal-akal. Tetapi dari akal 10 muncullah bumi, manusia, dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur yakni api, udara, air, dan tanah. Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Akal 10 ini disebut juga ‘Aql Fa’al (Akal Aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Tujuan al-Farabi mengemukakan teori Emanasi tersebut untuk menegaskan kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin yang esa berhubungan dengan yang tidak esa atau banyak. Andaikata alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi dari Tuhan yang maha esa hanya muncul satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.
Penutup
Inti dari pendapat para Filosof Islam klasik mengenai Tuhan adalah bahwa Tuhan sebagai pencipta dari segala sesuatu yang ada di alam nyata ini, yang menjadi sebab pertama dari segala akibat yang kita lihat saat ini. Tuhan merupakan wajib al-wujud atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud yang ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu apapun untuk mengaktualkannya.
Menurut kami Tuhan adalah pencipta dari segala yang ada saat ini, dia adalah dzat yang maha sempurna, yang tidak membutuhkan sesuatu apapun. Dia adalah sebab pertama dari hukum kausalitas yang ada di alam ini. Dia berkehendak sesuai dengan kapasitasnya sebagai pencipta. Dia bukan sesuatu, karena sesuatu itu terbatas. Wallahu A'lam (nzy)
Skema Emanasi menurut al-Farabi