Pendahuluan
Membicarakan buruh sebagai kekuatan politik, tidak akan bisa terlepas dari apa yang telah dipikrkan oleh Karl Marx, yaitu perjuangan kaum proletariat (buruh) menuju revolusi untuk menghancurkan kapitalisme. Marx adalah orang pertama yang menyatakan bahwa kelas buruhlah yang harus menjadi subjek dari revolusi untuk mengubah tatanan dunia menuju sosialisme. Kenapa?, karena menurutnya kelas buruh merupakan kelas yang paling menderita dalam tahap kapitalisme. Buruh mengalami alienasi, akibat dari sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan bagi para pemilik modal, dan sangat merugikan kelas pekerja.
Tetapi, tesis Marx tak sepenuhnya benar, karena pada saat ini, di mana kapitalisme masih menjadi ideologi utama yang dianut oleh kebanyakan negara, para buruh tidak lagi menjadi kekuatan yang menakutkan bagi para kapital, karena selain buruh malah merupakan bagian dari kekuasaan yang melanggengkan kapitalisme itu sendiri, seperti yang terjadi di Inggris saat ini.
Fenomena di atas hanya sebagian kecil –mungkin hanya di Inggris--, karena di belahan dunia lain, kaum buruh masih menjadi kelas tertindas, dan subordinat dari kekuasaan kapitalisme. Berbagai upaya mereka lakukan demi untuk memperjuangkan hak-haknya, seperti demonstrasi dan pemogokan massa, dan momentum hari buruh internasional, yang jatuh pada tanggal 1 Mei, dijadikan saat yang tepat bagi mereka untuk melakukan itu semua.
Membicarakan buruh sebagai kekuatan politik, tidak akan bisa terlepas dari apa yang telah dipikrkan oleh Karl Marx, yaitu perjuangan kaum proletariat (buruh) menuju revolusi untuk menghancurkan kapitalisme. Marx adalah orang pertama yang menyatakan bahwa kelas buruhlah yang harus menjadi subjek dari revolusi untuk mengubah tatanan dunia menuju sosialisme. Kenapa?, karena menurutnya kelas buruh merupakan kelas yang paling menderita dalam tahap kapitalisme. Buruh mengalami alienasi, akibat dari sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan bagi para pemilik modal, dan sangat merugikan kelas pekerja.
Tetapi, tesis Marx tak sepenuhnya benar, karena pada saat ini, di mana kapitalisme masih menjadi ideologi utama yang dianut oleh kebanyakan negara, para buruh tidak lagi menjadi kekuatan yang menakutkan bagi para kapital, karena selain buruh malah merupakan bagian dari kekuasaan yang melanggengkan kapitalisme itu sendiri, seperti yang terjadi di Inggris saat ini.
Fenomena di atas hanya sebagian kecil –mungkin hanya di Inggris--, karena di belahan dunia lain, kaum buruh masih menjadi kelas tertindas, dan subordinat dari kekuasaan kapitalisme. Berbagai upaya mereka lakukan demi untuk memperjuangkan hak-haknya, seperti demonstrasi dan pemogokan massa, dan momentum hari buruh internasional, yang jatuh pada tanggal 1 Mei, dijadikan saat yang tepat bagi mereka untuk melakukan itu semua.
Pengertian
Buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan imbalan upah. Buruh kemudian dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu buruh profesional dan buruh kasar. Keduanya dibedakan hanya dari kemampuannya mengaktualisasikan potensinya dalam bekerja. Kalau yang pertama (professional) menggunakan otaknya, sedangkan yang kedua (kasar) menggunakan otot.[1]
Istilah buruh pada dasarnya hanya menunjuk kepada tenaga kerja di bidang industri dan jasa. Sedangkan di bidang lain menggunakan istilah yang lain pula. Di bidang pertanian misalnya, tenaga kerjanya lebih dikenal dengan sebutan petani, bukan buruh.
Seperti dikatakan di atas bahwa istilah buruh hanya dikenal dalam dunia industri, dan setidaknya diskursus tentang buruh dimulai sejak munculnya revolusi industri di Inggris sekitar dua setengah abad yang lalu. Bagaikan rantai makanan yang selalu sambung-menyambung dan tak ada habis-habisnya, bicara buruh selalu akan dekaitkan dengan industrialisasi dan industrialisasi juga tidak dapat lepas dengan kapitalisme.
Sejalan dengan pemikiran Marx bahwa bicara buruh (proletariat) tidak akan lepas dari eksploitasi, dan ketertindasan. Memang tesis Marx tentang itu semua, menjadi benar, tidak hanya pada waktu Marx hidup, tetapi juga sampai saat ini. Fakta-fakta di lapangan membenarkan bahwa sampai saat ini nasib buruh tak ada ubahnya, selalu tertindas dan menjadi subordinat dari sistem kapitalisme.
Istilah buruh pada dasarnya hanya menunjuk kepada tenaga kerja di bidang industri dan jasa. Sedangkan di bidang lain menggunakan istilah yang lain pula. Di bidang pertanian misalnya, tenaga kerjanya lebih dikenal dengan sebutan petani, bukan buruh.
Seperti dikatakan di atas bahwa istilah buruh hanya dikenal dalam dunia industri, dan setidaknya diskursus tentang buruh dimulai sejak munculnya revolusi industri di Inggris sekitar dua setengah abad yang lalu. Bagaikan rantai makanan yang selalu sambung-menyambung dan tak ada habis-habisnya, bicara buruh selalu akan dekaitkan dengan industrialisasi dan industrialisasi juga tidak dapat lepas dengan kapitalisme.
Sejalan dengan pemikiran Marx bahwa bicara buruh (proletariat) tidak akan lepas dari eksploitasi, dan ketertindasan. Memang tesis Marx tentang itu semua, menjadi benar, tidak hanya pada waktu Marx hidup, tetapi juga sampai saat ini. Fakta-fakta di lapangan membenarkan bahwa sampai saat ini nasib buruh tak ada ubahnya, selalu tertindas dan menjadi subordinat dari sistem kapitalisme.
Karl Marx dan Kaum Buruh
Meskipun Marx bukan berasal dari kalangan buruh, tetapi perjuangan sepanjang hidupnya tercurahkan untuk memperbaiki kondisi kaum buruh (proletariat) khususnya dan tatanan dunia pada umumnya. Konteks sosiol-politik pada masanya lah yang sangat berjasa bagi Marx, sehingga Ia banyak mengungkapkan teori-teori terkait dengan perjuangan kaum buruh di tengah kapitalisme yang menindasnya.
Marx hidup pada zaman revolusi industri, di mana-mana kelas sosial buruh tercipta. Akibat sistem kapitalisme yang mengkotak-kotakkan manusia ke dalam kelas penguasa (modal) dan kelas pekerja. Kelas pekerja pada masa revolusi industri inilah yang disebut buruh.
Sebagai kelas terbawah yang tidak memiliki modal dan penguasaan terhadap alat produksi, menjadi buruh kelas yang selalu ditindas oleh mereka yang memiliki alat produksi. Kaum buruh mengalami apa yang disebut Marx keterasingan dan ketertindasan karena eksploitasi oleh para pemodal.
Karena kondisinya sebagai kelas yang tertindas, maka bagi Marx kelas buruhlah yang harus menjadi subjek revolusi (perubahan). Revolusi dalam rangka menghancurkan sistem kapitalisme, dan membangun tatanan dunia baru, yang disebut oleh Marx sebagai masyarakat tanpa kelas –komunisme—(cita-cita utopis Marx yang sampai sekarang belum terwujud).
Marx tidak hanya pandai berteori, dia juga aktif berjuang menyadarkan kaum buruh untuk sadar dan bersatu mewujudkan revolusi. Hal itu terrefleksi dalam gerakan Marx yang aktif dalam usaha membentuk organisasi buruh. Adalah Asosiasi Buruh Internasional (Internasionale I, 1864) yang menjadi asosiasi atau organisasi buruh terbesar pertama, di mana yang menulis anggaran dasarnya adalah Karl Marx sendiri.[2] Meskupun pada akhirnya organisasi tersebut gagal mewujudkan cita-cita Marx, tetapi organisasi itu menjadi prototip bagi gerakan buruh di dunia.
Marx hidup pada zaman revolusi industri, di mana-mana kelas sosial buruh tercipta. Akibat sistem kapitalisme yang mengkotak-kotakkan manusia ke dalam kelas penguasa (modal) dan kelas pekerja. Kelas pekerja pada masa revolusi industri inilah yang disebut buruh.
Sebagai kelas terbawah yang tidak memiliki modal dan penguasaan terhadap alat produksi, menjadi buruh kelas yang selalu ditindas oleh mereka yang memiliki alat produksi. Kaum buruh mengalami apa yang disebut Marx keterasingan dan ketertindasan karena eksploitasi oleh para pemodal.
Karena kondisinya sebagai kelas yang tertindas, maka bagi Marx kelas buruhlah yang harus menjadi subjek revolusi (perubahan). Revolusi dalam rangka menghancurkan sistem kapitalisme, dan membangun tatanan dunia baru, yang disebut oleh Marx sebagai masyarakat tanpa kelas –komunisme—(cita-cita utopis Marx yang sampai sekarang belum terwujud).
Marx tidak hanya pandai berteori, dia juga aktif berjuang menyadarkan kaum buruh untuk sadar dan bersatu mewujudkan revolusi. Hal itu terrefleksi dalam gerakan Marx yang aktif dalam usaha membentuk organisasi buruh. Adalah Asosiasi Buruh Internasional (Internasionale I, 1864) yang menjadi asosiasi atau organisasi buruh terbesar pertama, di mana yang menulis anggaran dasarnya adalah Karl Marx sendiri.[2] Meskupun pada akhirnya organisasi tersebut gagal mewujudkan cita-cita Marx, tetapi organisasi itu menjadi prototip bagi gerakan buruh di dunia.
Buruh di Indonesia
Dalam era keterbukaan politik yang sekarang sedang kita alami, sebenarnya merupakan momentum yang tepat bagi posisi tawar atau lebih jauh representasi aspirasi politis kaum buruh. Kaum buruh memiliki ruang yang luas untuk bisa mengorganisasikan diri dalam blok aspirasi atau kepentingan di posisi kekuasaan atau pengambilan keputusan. Dengan berpartisipasi di parlemen atau bahkan di pemerintahan, misalnya.
Namun sayangnya, ada beberapa kendala subjektif yang menghambat menguatnya partisipasi politik kaum buruh, yakni: pertama, lemahnya rekonsolidasi organisasi persatuan kaum buruh dari lingkup lokal, regional, maupun nasional. Di mana hampir sembilan tahun reformasi bergulir kaum buruh diIndonesia , tidak juga mampu membangun organisasi buruh persatuan –entah yang berwatak unionisme (perserikatan) atau federalisme (gabungan)—yang memiliki perspektif ideologi “kelas”.
Berbagai organisasi “jejaring” buruh skala nasional, umumnya berwatak organisme sosial-ekonomi atau bahkan administatur-keorganisasian. Sehingga, tidak mengherankan, ketika ada inisiatif dari aktivis perburuhan, untuk membentuk alat perjuangan politik di parlemen dengan ikut pemilu, semacam PBSD (Partai Buruh Sosial Demokrat) tidak mendapatkan dukungan optimal dari masa buruh. Mengingat tingkat kesadaran buruh masih berkutat pada kesadaran ekonomisme atau sebatas organisme sosial. Belum pada kesadaran demokratik, untuk benar-benar optimal berjuang melalui jalur politik parlemen atau ekstraparlemen untuk memperjuangkan aspirasi, partisipasi, dan kepentingan buruh.
Kedua, masih lemahnya solidaritas mekanisme, organisasi, dan kelas kaum buruh diIndonesia . Antar komunitas atau kelompok buruh selama ini memiliki “ego-eksistensial” yang sulit didorong menjadi energi solidaritas kolektif untuk memperjuangkan posisi sosial kaum buruh vis a vis kekuasaan (negara/modal).[3]
“Ego-eksistensial” ini termasuk mengkotak-kotakkan tipologi kaum buruh dalam identittas “buruh keras putih” dan “buruh kerah biru” atau buruh “berdasi” dengan buruh “tidak berdasi”. Sehingga, ketika kelompok tertentu kaum buruh terkena dampak kebijakan yang merugikan dari kekuasaan modal atau negara, tidak tumbuh solidaritas akbar dari kelompok buruh yang lain. Contohnya: demonstrasi besar-besaran mantan karyawan PT DI yang tergolong buruh “kerah putih” tidak mendapatkan dukungan dari organisasi atau masa yang tergolong buruh “kerah biru”. Padahal sesungguhnya, status sosial mereka adalah sama dalam relasi kuasa modal dan kerja.
Kendala subjektif di atas sebenarnya bisa dikikis ketika terjadi proses edukasi politik di kalangan kaum buruh secara massif, sistematis, independen, dan progresif. Edukasi politik yang selama ini dijalankan oleh berbagai organisasi buruh umumnya bersifat “normatif” dan paling “radikal” hanya membelajarkan kaum buruh tentang metode advokasi hak-hak subsisten (penghidupan)nya.
Untuk meningkatkan kesadaran demokratik kaum buruh, diperlukan model edukasi politik “transformatif”, yang mengajarkankan kaum buruh tentang wacana, ide, program, isu yang mengandung analisis sosial dan teori perubahan sosial. Namun sayangnya, model edukasi politik transformatif kaum buruh selama ini hanya dilakukan oleh segelintir orang atau aktivis perburuhan dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau gerakan ektra-parlementer lainnya. Hal itu pun lebih berorientasi proyek, bukannya orientasi pembebasan sosial.
Sebenarnya secara sederhana tuntutan buruh berkisar pada dua hal, yaitu; pertama, ketidakjelasan status kerjanya, dan kedua, upahnya yang rendah. Ketidak jelasan status kerja buruh sebenarnya lebih dikarenakan oleh keberpihakan regulasi pemerintah kepada pemilik modal, terbukti dengan memberlakukan sistem kontrak. Hal ini bisa dimaklumi memingat preasure yang dilakukan oleh para pemilik modal, mereka mengancam tidak melalukan investasi jika upah buruh tinggi.
Pada masa pemerintahan Soeharto upah buruh yang rendah, diunggulkan untuk menarik dan merayu investor agar mau datang keIndonesia . Padahal masih banyak faktor yang menyebabkan investasi sulit masuk di Indonesia , misalnya, korupsi dan birokrasi yang berbelit-belit, dan biaya produksi yang bisa dipotong. Jadi jangan selalu menjadikan buruh sebagai kambing hitam dari semua kendala tersebut.
Namun sayangnya, ada beberapa kendala subjektif yang menghambat menguatnya partisipasi politik kaum buruh, yakni: pertama, lemahnya rekonsolidasi organisasi persatuan kaum buruh dari lingkup lokal, regional, maupun nasional. Di mana hampir sembilan tahun reformasi bergulir kaum buruh di
Berbagai organisasi “jejaring” buruh skala nasional, umumnya berwatak organisme sosial-ekonomi atau bahkan administatur-keorganisasian. Sehingga, tidak mengherankan, ketika ada inisiatif dari aktivis perburuhan, untuk membentuk alat perjuangan politik di parlemen dengan ikut pemilu, semacam PBSD (Partai Buruh Sosial Demokrat) tidak mendapatkan dukungan optimal dari masa buruh. Mengingat tingkat kesadaran buruh masih berkutat pada kesadaran ekonomisme atau sebatas organisme sosial. Belum pada kesadaran demokratik, untuk benar-benar optimal berjuang melalui jalur politik parlemen atau ekstraparlemen untuk memperjuangkan aspirasi, partisipasi, dan kepentingan buruh.
Kedua, masih lemahnya solidaritas mekanisme, organisasi, dan kelas kaum buruh di
“Ego-eksistensial” ini termasuk mengkotak-kotakkan tipologi kaum buruh dalam identittas “buruh keras putih” dan “buruh kerah biru” atau buruh “berdasi” dengan buruh “tidak berdasi”. Sehingga, ketika kelompok tertentu kaum buruh terkena dampak kebijakan yang merugikan dari kekuasaan modal atau negara, tidak tumbuh solidaritas akbar dari kelompok buruh yang lain. Contohnya: demonstrasi besar-besaran mantan karyawan PT DI yang tergolong buruh “kerah putih” tidak mendapatkan dukungan dari organisasi atau masa yang tergolong buruh “kerah biru”. Padahal sesungguhnya, status sosial mereka adalah sama dalam relasi kuasa modal dan kerja.
Kendala subjektif di atas sebenarnya bisa dikikis ketika terjadi proses edukasi politik di kalangan kaum buruh secara massif, sistematis, independen, dan progresif. Edukasi politik yang selama ini dijalankan oleh berbagai organisasi buruh umumnya bersifat “normatif” dan paling “radikal” hanya membelajarkan kaum buruh tentang metode advokasi hak-hak subsisten (penghidupan)nya.
Untuk meningkatkan kesadaran demokratik kaum buruh, diperlukan model edukasi politik “transformatif”, yang mengajarkankan kaum buruh tentang wacana, ide, program, isu yang mengandung analisis sosial dan teori perubahan sosial. Namun sayangnya, model edukasi politik transformatif kaum buruh selama ini hanya dilakukan oleh segelintir orang atau aktivis perburuhan dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau gerakan ektra-parlementer lainnya. Hal itu pun lebih berorientasi proyek, bukannya orientasi pembebasan sosial.
Sebenarnya secara sederhana tuntutan buruh berkisar pada dua hal, yaitu; pertama, ketidakjelasan status kerjanya, dan kedua, upahnya yang rendah. Ketidak jelasan status kerja buruh sebenarnya lebih dikarenakan oleh keberpihakan regulasi pemerintah kepada pemilik modal, terbukti dengan memberlakukan sistem kontrak. Hal ini bisa dimaklumi memingat preasure yang dilakukan oleh para pemilik modal, mereka mengancam tidak melalukan investasi jika upah buruh tinggi.
Pada masa pemerintahan Soeharto upah buruh yang rendah, diunggulkan untuk menarik dan merayu investor agar mau datang ke
Buruh, Dilema Kemajuan Ekonomi, Dan Kritik Terhadap Pemerintah
Dalam kerangka neoliberalisme, yang mendoktrinkan betapa pentingnya investasi asing bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, para pemilik modal dengan mudah menolak tuntutan para buruh maupun peraturan pemerintah dengan memboikot penanaman modal ataupun mengancam hengkang dari satu negara ke negara lain yang punya syarat lebih lunak. Hal ini mengakibatkan pemerintah takut kehilangan investor dan terpaksa memberlakukan regulasi yang pro terhadap para investor dan menjadikan nasib buruh perhatian nomor dua dibanding para investor tersebut.[4]
Regulasi-regulasi yang diberlakukan pemerintah, yang sangat pro investasi (upah buruh yang murah, keluasan menguasai SDA, dll) berakibat pada semakin buruknya nasib buruh. Buruh atau pekerja lainnya yang notabene merupakan warga negara asli merasa bagaikan budak di negerinya sendiri.
Pada pertengahan April tahun lalu (2006) tentu masih teringat oleh kita bagaimana ribuan buruh turun ke jalan melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak revisi UU ketenaga kerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Revisi tersebut ditolak oleh hampir seluruh elemen buruh diIndonesia , karena dalam revisi tersebut pemerintah, meregulasi kebijakan tentang sistem kontrak kerja dengan lebih luas. Dalam sistem kontrak nasib buruh yang sudah menderita kian menderita karena pihak pengusaha dengan laluasa dapat memecat buruh kapan pun tanpa kompensasi.
Ragulasi yang hendak diberlakukan pemerintah tersebut, antara lain mengatur bahwa perusahaan tetap boleh menyerahkan pekerjaan kepada penyedia jasa pekerja atau outsourching dalam waktu panjang, selain itu tidak ada batasan jenis pekerjaan yang dapat disubkontrakkan. Pemerintah setuju untuk mengurangi, dan bahkan menghapuskan jumlah pesangon pekerja yang mengundurkan diri.
Tujuan pemerintah membuat berbagai peraturan ketenagakerjaan tentu tidak lain agar iklim usaha menjadi lebih kondusif. Pemerintah ingin membuat investor asing merasa lebih nyaman, sehingga investasi di negeri ini akan meningkat.
Namun, berdasarkan penelitian World Economic Forum aturan buruh diIndonesia bukan faktor penentu yang menghambat iklim investasi. Faktor utama yang menjadi penghambat iklim investasi justru dari kinerja pemerintah yang tidak efisien. Ekonomi berbiaya tinggi, infrastruktur yang tidak memadai, peraturan perpajakan yang tidak menarik, korupsi, instabilitas kebijakan pemerintah, serta kualitas sumber daya manusia (SDM), buruh hanya menempati urutan ketujuh dalam faktor penghambat investasi tersebut.[5]
Mengacu pada faktor penghalang investasi itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk lebih dulu mencecar undang-undang ketenagakerjaan. Demi menciptakan iklim investasi yang kondusif pemerintah tidak perlu mengorbankan kaum buruh. Membuat peraturan atau undang-undang yang menekan hak-hak kaum buruh memang jauh lebih mudah dari pada membuat pemerintahan yang efisien, memangkas birokrasi, atau menghindari ekonomi berbiaya tinggi. Pemerintah sebaiknya tidak mengambil jalan pintas, ketika mereka menghadapi masalah.
Intinya, mengapa sampai saat ini buruh masih menjadi kelas bawah yang tertindas adalah karena tidak konsistennya pemerintah memperjuangkan hak buruh dan posisi buruh yang lemah.
Regulasi-regulasi yang diberlakukan pemerintah, yang sangat pro investasi (upah buruh yang murah, keluasan menguasai SDA, dll) berakibat pada semakin buruknya nasib buruh. Buruh atau pekerja lainnya yang notabene merupakan warga negara asli merasa bagaikan budak di negerinya sendiri.
Pada pertengahan April tahun lalu (2006) tentu masih teringat oleh kita bagaimana ribuan buruh turun ke jalan melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak revisi UU ketenaga kerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Revisi tersebut ditolak oleh hampir seluruh elemen buruh di
Ragulasi yang hendak diberlakukan pemerintah tersebut, antara lain mengatur bahwa perusahaan tetap boleh menyerahkan pekerjaan kepada penyedia jasa pekerja atau outsourching dalam waktu panjang, selain itu tidak ada batasan jenis pekerjaan yang dapat disubkontrakkan. Pemerintah setuju untuk mengurangi, dan bahkan menghapuskan jumlah pesangon pekerja yang mengundurkan diri.
Tujuan pemerintah membuat berbagai peraturan ketenagakerjaan tentu tidak lain agar iklim usaha menjadi lebih kondusif. Pemerintah ingin membuat investor asing merasa lebih nyaman, sehingga investasi di negeri ini akan meningkat.
Namun, berdasarkan penelitian World Economic Forum aturan buruh di
Mengacu pada faktor penghalang investasi itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk lebih dulu mencecar undang-undang ketenagakerjaan. Demi menciptakan iklim investasi yang kondusif pemerintah tidak perlu mengorbankan kaum buruh. Membuat peraturan atau undang-undang yang menekan hak-hak kaum buruh memang jauh lebih mudah dari pada membuat pemerintahan yang efisien, memangkas birokrasi, atau menghindari ekonomi berbiaya tinggi. Pemerintah sebaiknya tidak mengambil jalan pintas, ketika mereka menghadapi masalah.
Intinya, mengapa sampai saat ini buruh masih menjadi kelas bawah yang tertindas adalah karena tidak konsistennya pemerintah memperjuangkan hak buruh dan posisi buruh yang lemah.
Peringatan Mayday
Mayday bermula ketika buruh di amerika melakukan demonstrasi besar-besaran tahun pada untuk menurunkan jam kerja menjadi hanya 8 jam perhari, dan itu berhasil, oleh karenanya setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional
Peringatan Mayday dilkakukan secara massif diIndonesia terutama setelah runtuhnya rezim Soeharto, karena pada masa Soeharto buruh ditekan sedemikan rupa sehingga tidak dapat merayakan peringatan hari buruh internasional (Mayday).
Perayaan buruh tahun ini (2007), diperingati buruh dengan cara melakukan dengan cara besar-besaran dan terjadi hampir merata di seluruhIndonesia , dan perayaan buruh kali ini terbilang berlangsung dengan damai.
Mengapa buruh merayakan Mayday selalu dengan Demonstrasi?, karena, dengan cara demikianlah buruh mampu menyalurkan aspirasinya, dan memang cara itu yang dianggap paling efektif oleh mereka. Dan oleh karena itu pula buruh dianggap sebagai kekuatan politik, karena buruh dapat memobilisirmassa dengan massif yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Demonstrasi menjadi satu-satunya jalan bagi kaum buruh untuk memperjuangkan hak-haknya, karena tidak ada jalan lain. Di Indonesia, posisi politik kaum buruh masih sangat lemah. Karena, kesadaran politiknya tidak terakomodir dalam satu wadah, mereka bersatu lebih karena kesadaran ekonomi yang mereka rasakan. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang oleh Marx inginkan, Marx mau kalau buruh, sebagai kelas yang tertindas, sadar akan tugas sebagai kekuatan politik untuk menumbangkan dan menghancurkan sistem kapitalisme, dan menciptakan diktator proletariat, sebagai transisi menuju masyarakat tanpa kelas.
Peringatan Mayday dilkakukan secara massif di
Perayaan buruh tahun ini (2007), diperingati buruh dengan cara melakukan dengan cara besar-besaran dan terjadi hampir merata di seluruh
Mengapa buruh merayakan Mayday selalu dengan Demonstrasi?, karena, dengan cara demikianlah buruh mampu menyalurkan aspirasinya, dan memang cara itu yang dianggap paling efektif oleh mereka. Dan oleh karena itu pula buruh dianggap sebagai kekuatan politik, karena buruh dapat memobilisir
Demonstrasi menjadi satu-satunya jalan bagi kaum buruh untuk memperjuangkan hak-haknya, karena tidak ada jalan lain. Di Indonesia, posisi politik kaum buruh masih sangat lemah. Karena, kesadaran politiknya tidak terakomodir dalam satu wadah, mereka bersatu lebih karena kesadaran ekonomi yang mereka rasakan. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang oleh Marx inginkan, Marx mau kalau buruh, sebagai kelas yang tertindas, sadar akan tugas sebagai kekuatan politik untuk menumbangkan dan menghancurkan sistem kapitalisme, dan menciptakan diktator proletariat, sebagai transisi menuju masyarakat tanpa kelas.
Penutup
Buruh memiliki sumber power yaitu demonstrasi dan pemogokan massa yang dilakukan secara besar-besaran, itu semua dapat dilakukan buruh lebih karena mereka merupakan suatu kelas tertindas yang, terutama dalam kapitalisme, merasa sebagai manusia yang tidak diperlakukan manusiawi
Yang terpenting saat ini adalah bagaimana buruh menunjukkan dirinya sebagai kekuatan politik yang sangat mengancam bagi kapitalisme, dengan cara sadar dan bersatu, bahwa ketertindasan yang dialaminya saat ini merupakan dampak sistematis kapitalisme. Oleh karena itu, akan sangat lebih penting, jika para buruh melawan menentang kapitalisme itu secara tegas dan mendasar. Wallahu a’lam.
Yang terpenting saat ini adalah bagaimana buruh menunjukkan dirinya sebagai kekuatan politik yang sangat mengancam bagi kapitalisme, dengan cara sadar dan bersatu, bahwa ketertindasan yang dialaminya saat ini merupakan dampak sistematis kapitalisme. Oleh karena itu, akan sangat lebih penting, jika para buruh melawan menentang kapitalisme itu secara tegas dan mendasar. Wallahu a’lam.
[1] Haniah Hanafie, Kekuatan-kekuatan Politik, (Jakarta : Fak. Ushuluddin, 2006), h. 73-74.
[2] Franz Magis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, (Jakarta : Gramedia, 2003), h. 209.
[3] http://www.freelists.org/archives/ppi/05-2004/msg00000.html
[4] B. Herry Priyono, dalam Neoliberalisme, ed. I. Wibowo & Francis Wahono, (Yogyakarta : Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), h. 63.
[5] Metro TV, dalam Merto Hihglight, Sabtu 05 Mei 2007.
0 komentar:
Posting Komentar